Dosenku seorang Tukang Sapu

Dihadapanku, kini tegak berdiri sebuah bangunan megah dan menurutku agak unik, tidak simetris seperti kebanyakan bangunan pada umumnya. Bagian tepinya… hmm… bagaimana ya aku harus menggambarkan bentuknya, hampir tidak dapat dideskripsikan. Tapi satu hal yang aku tahu, bahwa bangunan ini bukan sembarang arsitek yang merancangnya. Memerlukan banyak perhitungan sudut yang rumit dan ketelitian ukuran hingga milimeter untuk dapat membuatnya tegak. Ah, bagiku tak jadi soal siapa yang membangunnya, yang jelas aku telah berada disini, didepan sebuah institusi berumur ratusan tahun, pencetak manusia-manusia tangguh dunia. Kalian kenal dengan Koffi Anan? Beliau adalah salah satunya.

Di atas pintu otomatis, terpampang tulisan yang telah tegak di hatiku beberapa tahun belakangan, warnanya hitam berwibawa, “Massachusetts Institute of Technology”. Hebat bukan buatan tulisan itu, hingga seakan tangan keriputnya menarikku masuk ke dalam dunia pendidikan bergengsi tinggi. Aku naik ke lantai paling atas dan langsung menuju jendela untuk memandang, seketika ingatanku terlempar jauh ke masa lalu dan terhenti di sebuah tempat yang tak asing bagiku, Universitas Gunadarma.  Bagiku , ini semua seperti mimpi kemarin sore, ketika pertama kalinya sekaligus untuk yang terakhir kalinya aku berbincang dengan Pak Harfan, seorang tukang sapu dikampusku.

***

Sebelumnya, aku adalah seorang mahasiswa Teknik Informatika di sebuah universitas yang cukup terkemuka di bidang IT (Information Technology), yaitu Universitas Gunadarma. Aku mengambil jenjang S1 dan selalu bermimpi suatu saat nanti dapat melanjutkan S2 di Amerika. Benih-benih harapan itu kusemai dalam hati, aku rawat, aku beri pupuk agar nanti ketika menjadi tanaman, akarnya kokoh tak limbung di terpa angin.

Semua yang terjadi padaku sekarang, berawal dari kampus yang kucintai itu. Disana aku banyak bertemu orang-orang hebat. Kawan, kau harus tahu bahwa orang hebat tidak mesti mengenakan kacamata atau memiliki kepala botak. Bagiku orang hebat adalah dia yang mampu memberikan sesuatu kepada orang lain untuk menjadikan hidup orang tersebut menjadi lebih berarti. Salah satu orang hebat itu adalah Pak Harfan, tukang sapu di kampusku.

Pernah suatu hari, Amir mengajakku berangkat bersama ke kampus. Kebetulan sahabatku itu membawa kendaraan roda dua.

“Assalamu’alaikum Hadyan…”, teriaknya dari luar.

“Wa’alaikumsalam.. Sebentar mir, lagi make sepatu ni..”, sahutku sekenanya.

“et dah,, cepetan oy, gw belom ngerjain Laporan Akhir neh!” desaknya dengan nada betawi yang khas.

“Iya, iya sebentar.. ini juga udah kok”, jawabku sambil sedikit berlari ke arahnya.

Baru saja bokongku menyentuh jok, tanpa ba bi bu, Amir langsung tancap gas. Agaknya kami terburu-buru pagi itu karena belum sempat mengerjakan Laporan Akhir Praktikum. Tugas kuliah yang menumpuk menjadi tersangka utamanya. Kami sepakat untuk datang lebih awal dan mengerjakannya bersama di Masjid Kampus.

“Buruan yan, keluarin catatan lu plus potocopian,, gw belom ngerjain ni!”

“gw juga belom mir, ni gw adanya cuma catatan, potocopian gw dipinjem sama temen gw..”

“jah, yaudah dah yang ada aja dulu, daripada nggak sama sekali!”

Sahabatku ini orangnya memang tidak bisa tenang, selalu terlihat panik dalam kondisi yang tidak nyaman. Namun dia tetaplah sahabatku yang selama ini menjadi penopang semangat hidupku. Beberapa puluh menit berlalu akhirnya Laporan Akhir kami selesai juga. Praktikum baru akan dimulai 15 menit lagi.

“Alhamdulillah.. kelar juga ni laporan.. huft!” Amir menghela nafas.

“iya, akhirnya selesai juga ya.. jadi agak tenang nih.. hehehehe” ledekku pada Amir sambil menaikkan alis beberapa kali.

“yeee… ngeledek! Kalo tadi gak buru-buru palingan belom selese sampe sekarang!” balasnya tidak mau kalah,

“iya deh iya… “ jawabku mengalah.

Ketika sedang duduk-duduk santai menunggu waktu praktikum, aku melihat di kejauhan seorang tukang sapu seperti memungut sesuatu ketika sedang menyapu halaman kampus. Sepenglihatanku yang diambil tukang sapu itu adalah segepok uang. Lalu ia masukkan gepokan uang itu ke dalam saku celana dan pergi entah kemana. Tiba-tiba Amir berkomentar,

“yan, tu sapa sih? Ko lu ngeliatin dia terus?” tanya Amir penasaran.

“masa lu ga tau bud, itu kan Pak Harfan, yang suka jadi Imam sholat maghrib!” jawabku.

“dia kayak nemu sesuatu deh yan, duit tu kayaknya!! Tapi kok malah dimasukin kantong sih? Dasar tukang sapu!!” selidik Amir.

“Hush!! Gak boleh gitu lu, kan kita belom tau mau diapain tu duitnya.. jangan berprasangka buruk dulu fren, gak baek…” sanggahku seakan penceramah kondang.

Memang sebelumnya aku sudah mengenal seorang tukang sapu bernama Pak Harfan, sebatas mengenal nama dan wajah saja karena ia sering menjadi Imam di Majid Kampus Depok. Sesekali ia tampil sebagai pembicara jika ada pengajian rutin UKM Fajrul Islam. Pembawaannya sederhana dan dalam berkata ia berwibawa. Jika sudah berbicara, tak tampak bagiku bahwa ia adalah seorang tukang sapu. Namun melihat apa yang dia lakukan pagi itu, sedikit membuat hatiku terusik dan tanpa sadar aku pun membatin, “ternyata begini perilaku orang yang selama ini mengelu-elukan perbuatan baik..!” Ah, tapi pikiran itu langsung aku tepis jauh-jauh. Tak pantas rasanya menghakimi orang yang selama ini bertabiat baik.

Selang beberapa hari setelah kejadian itu, aku jadi sering memperhatikan dari jauh perilaku Pak Harfan, yang buatku patut untuk dijadikan teladan. Suatu waktu aku melihatnya sedang makan di warteg dekat kampus. Pada saat dia sedang makan, datanglah seorang pengemis tua renta meminta belas kasih dari Pak Harfan. Bukannya memberi pengemis itu uang, Pak Harfan malah mempersilahkan kakek itu duduk dan ikut makan. Setelah itu Pak Harfan memberikan uang kepada pengemis itu seadanya. Dalah hati aku pun berucap, “sungguh mulia Amir pekerti tukang sapu itu”. Di lain waktu, Amir pernah bercerita padaku bahwa ia pernah menyaksikan Pak Harfan beraksi menolong pengamen cilik yang terjatuh ke sebuah kali di samping kampusku. Pak Harfan, jarang kujumpai manusia seperti dia, yang hidup penuh dengan kebajikan. Tetap bersuka cita dalam hidupnya yang pas-pasan.

***

Kampusku memang sangat nyaman untuk belajar dan bertukar pikiran. Banyak pepohonan rindang yang tumbuh di antara gedung-gedungnya. Terkadang kicau nakal sekelompok burung pipit menghiburku dikala gelisah memikirkan nilai ujian yang ala kadarnya. Pelataran gedung kampus sering dijadikan mahasiswa bercengkrama penuh canda tawa. Tak jarang juga dijadikan tempat berdiskusi, merampungkan tugas kelompok yang menggunung. Di antara kegiatan-kegiatan itu, tak ada yang saling mengusik, karena umumnya para mahasiswa bisa menghargai sesamanya. Suasana kelas pun cukup nyaman dan menyenangkan. Jika suhu udara di luar sedang tidak bersahabat, maka kelas dikampusku adalah tempat favorit bagi para mahasiswa. Kata mereka, “Ademmm beneeeeerrr..!!”. Ya, memang banyak ruangan kelas dikampusku yang sudah di pasang pendingin udara. Namun masih ada beberapa yang butuh perhatian lebih, agar mahasiswa dapat lebih semangat dalam mengejar impiannya.

Pernah di suatu sore yang hangat, dibawah pohon beringin depan kampus, aku dan Pak Harfan terlibat perbincangan santai. Itulah kali pertama aku berbicara langsung dengannya, dan luar biasa.. aku terkesima mendengarkan kata demi kata yang meluncur dari mulutnya, bagaikan bait-bait puisi karya seorang pujangga. Setiap kalimatnya menyentuh, seiring dengan desis angin yang menerpa wajahku saat itu.

“Hidup itu untuk memberi.. “ sejenak Pak Harfan terdiam.

“ya… hanya untuk itu kita hidup” sambungnya.

Setelah itu, kami bercerita panjang lebar. Pak Harfan menceritakan pengalamannya waktu menemukan uang ketika sedang menyapu. Ia panik karena tidak pernah memegang uang sebanyak itu, lantas ia masukkan saja ke kantong celananya dan ia bawa pulang untuk diberitahukan kepada istrinya. Akhirnya Pak Harfan menyerahkan uang itu kepada satpam kampus untuk minta diumumkan kepada masyarakat kampus. Sedangkan aku menceritakan mimpi-mimpiku pada Pak Harfan, termasuk impianku untuk dapat meneruskan kuliah di Amerika. Dia adalah pendengar yang baik, tak ada kata yang keluar dari mulutnya ketika antusias menguasaiku untuk bercerita. Hanya sesekali ia tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dengan apa yang aku katakan. Terus terang aku sangat nyaman berbincang dengan Pak Harfan, sampai-sampai secara tidak sadar aku menceritakan tentang perasaanku kepada salah seorang mahasiswi di kampusku.

“Pak, kenapa ya wanita itu susah untuk ditebak?” tanyaku pada Pak Harfan.

“Wanita itu suka malu-malu yan, padahal sebenernya dia itu mau loh.. memangnya siapa sih yang kamu kagumi itu?” Pak Harfan mencoba menyelidiki.

“Ira…” jawabku malu-malu. Ah, nampaknya mukaku memerah.

“oh ira, siapa sih yang tidak kenal mahasiswi berprestasi seperti dia.. yang menang waktu pemilihan putri kampus tahun kemarin kan? Pak Harfan memang banyak tahu tentang acara kampus.

“iya pak.. ya Cuma sekedar kagum sama Ira..” jawabku sekenanya.

“ah sudahlah pak, rasanya tak pantas mahasiswa biasa seperti aku ini membicarakan seorang bintang kampus..” lanjutku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“perjuangkanlah..” tiba-tiba Pak Harfan menyela.

“wanita dan mimpi itu sama, untuk mendapatkannya mereka harus diperjuangkan. Bukan perjuangan biasa, tapi perjuangan seorang ksatria. Penuh dengan pengorbanan. Bukan suatu hal yang tidak mungkin jika nantinya kamu akan berdiri di depan sekolah yang kamu impikan selama ini. Bermimpilah dan tegakkan sumpah dalam hati bahwa kamu akan benar-benar hidup dalam mimpimu.”

Aku terdiam, lidahku kelu untuk berucap. Gemuruh didadaku kian menggetarkan. Mataku berkaca-kaca. Kini aku merasa yang ada di depanku bukanlah seorang tukang sapu, melainkan seorang dosen. Dosen yang mengajarkan arti kehidupan bagiku. Pak Harfan, dialah dosen hidupku.

***

Beberapa hari ini aku tidak menjumpai Pak Harfan seperti biasanya. Aku memang sedang sibuk di organisasi. Tugas dari kampus sudah bosan menunggu untuk diselesaikan. Aku benar-benar sibuk. Hingga suatu hari ketika ada waktu luang aku sempatkan untuk bertemu “dosenku”. Aku bertanya pada tukang sapu lain.

“Maaf pak, liat Pak Harfan tidak?” tanyaku.

“Oh, mas belum dapat kabar ya?” jawabnya singkat.

“kabar apa pak? Saya benar-benar tidak tahu apa-apa” tanyaku penuh heran.

“begini mas, Pak Harfan sudah mendahului kita menghadap Ilahi. Beliau meninggal 2 hari yang lalu.”

Mataku terbelalak. Seketika nafasku tercekat.

“yang benar pak?” tanyaku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.

“iya mas, Pak Harfan kena serangan jantung, dan jenazahnya dimakamkan dikampungnya.”

“Innalillahi Wainnalilaihi Raaji’uun… terimakasih ya pak atas informasinya” kataku sambil berlalu.

Pak Harfan telah meninggal, tapi bagiku ia tetap hidup dalam hatiku. Kata-kata terakhir yang pernah ia sampaikan kepadaku, aku genggam erat-erat dengan tanganku, dan aku bersumpah untuk mengejar impianku sampai takdir berkata lain.

Semenjak kejadian itu, aku semakin termotivasi untuk terus belajar memantaskan diri dengan impian-impianku. Aku belajar dan terus belajar. Aku bersyukur bisa kuliah di sini, Universitas Gunadarma, tempat dimana impian itu aku bangun. Bukan hanya Pak Harfan, tetapi Amir, Ira dan semua temanku menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidupku. Dosen-dosen kelas semakin semangat dalam mengajarkan mata kuliah karena melihat kami begitu antusias mengikuti kuliah.

***

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahuh demi tahun terlewati sudah. Besok adalah penentuan bagiku untuk dapat melanjutkan sekolah ke Amerika. Malam harinya aku tak henti-hentinya berdoa, memanjatkan segala puji pada sang Pencipta atas segala karunia yang telah ia berikan padaku selama ini. Aku meminta restu kepada Bapak dan Ibu untuk dapat melanjutkan mimpiku yang tinggal selangkah lagi. Bapak dan Ibu tersenyum, malam itu aku pun menangis sejadi-jadinya dalam sujudku pada Ilahi.

Namun Tuhan berkehendak lain. Saat azan subuh berkumandang, aku tersentak oleh suara Bapak yang sedikit berteriak membangunkanku. Sontak aku terbangun dan langsung menuju kamar Bapak.

“Ibumu pingsan nak!” kata bapak panik.

“Ibu kenapa pak?” aku pun mulai resah melihat Ibu diam saja.

“Bapak tidak tahu, tadi selepas mengambil air wudhu, Ibumu berbaring di atas ranjang. Bapak kira sedang tidur, lalu Bapak bangunkan dan ternyata Ibu tidak mau bangun juga!!”

“Ayo cepat kita bawa Ibu kerumah sakit!!” sambung Bapak.

Sinar keemasan mulai masuk ke kamar dari celah jendela rumah sakit. Ibu belum juga sadar. Sejak tadi aku sendiri menunggui Ibu, Bapak sedang sibuk mencari tambahan biaya agar dapat mengurus administrasi rumah sakit yang rumit berbelit-belit. Dalam diam, aku memandang Ibu lekat-lekat. Mulai tampak keriput di wajah cantiknya. Tak terasa air mataku meleleh, aku menangis. Orang yang paling aku cintai kini terbaring lemah tak berdaya di hadapanku. Dalam tangis itu, tiba-tiba aku tersentak. Aku baru ingat kalau hari ini aku ada ujian untuk mendapatkan besasiswa. Aku bimbang. Tak mungkin aku meninggalkan Ibu sendirian disini. Tetapi disisi lain, ujian hari ini adalah kesempatan emas bagiku untuk melanjutkan cita-citaku.

Aku pejamkan mata yang sembab ini, bersimpuh di hadapan kuasa sang Pencipta. Aku terdiam, bingung dengan apa yang harus aku pilih. Aku merintih dalam perih. Aku pun membatin,

“apakah ini jalan takdirku, mungkin memang ini yang terbaik untukku, aku serahkan pilihan ini pada-Mu ya Rabb.”

Pikiranku menerawang jauh, jauh entah kemana, dan seketika kalimat terakhir Pak Harfan terlintas dalam pikiranku. Menohok ulu hatiku.

“aku tidak boleh menyerah pada keadaan. Aku pasti bisa mendapatkan apa yang selama ini aku impikan. Tapi, apa aku harus mengorbankan ibu. Menelantarkannya sendirian di kamar rumah sakit ini, sedang ia tak berdaya?”

Tiba-tiba aku mendengar suara lirih memanggil namaku. Suaru itu sangat lemah.

“Hadyan …”

“Ah, itu suara ibu!!” pekikku girang.

Alhamdulillah ternyata ibu sudah sadarkan diri. Beliau masih tampak lemah. Ketika aku memandangnya dengan linangan air mata, ibu berkata,

“Berangkatlah nak … Kejarlah apa yang kamu impikan … Doa Ibu menyertaimu …”

Mendengar itu aku seperti tersengat listrik puluhan ribu volt. Aku menangis sejadi-jadinya di pangkuan Ibu sambil menggenggam erat tangannya. Lalu aku mengangkat tegak kepalaku dan mencium kening ibu.

“Ibu, aku sayang ibu…” ucapku bergetar.

Aku panggil suster rumah sakit untuk menjaga ibu dan aku pun berangkat dengan semangat yang baru kali ini aku rasakan begitu membara.

***

“Excuse me, may I sit beside you..” ucap salah seorang mahasiswi yang memecah lamunanku.

“oh my plesure..” jawabku sambil tersenyum.

Dia pun tersenyum dengan manisnya kepadaku, mengingatkanku dengan seseorang yang pernah singgah di hatiku waktu kuliah di Gundarma dulu. Hari ini adalah kuliah perdana di kampus baruku. Tak ada salahnya jika aku berkenalan dengannya.

“Nice to meet you, I’m Hadyan, what’s your name?” tanyaku berbasa basi.

“Ira …”

26 Responses to “Dosenku seorang Tukang Sapu”

  1. milayuliani Says:

    subhanallah…nice story..:)

  2. hanum Says:

    really great story ever! Keep on blogging dear. May all the best things be around you forever. Good luck of MIT study (^_^)

  3. pak dhe Says:

    subhanallah…cerita yang sangat menyentuh..mohon ijin copy mas…salam kenal dari ane…

  4. sujana Says:

    Two tumbs up……
    What a great end….saluut!!!

  5. langit_biru Says:

    Selamat jalan Pak Harfan…

    byk pesan moral yang k3 sampaikan dlm cerpen ini…semua akan tersentuh saat membacanya…^^

    lanjutkan!!!!

  6. Marssel Says:

    Very Nice..
    Ceritanya menyentuh bgt..

  7. Purnawarman MUSA Says:

    Wah, sayangnya saya tidak pernah kenal dengan pak Harfan.
    Semoga beliau diterima disisiNYA.

    Salam kenal dari saya buat Hadyan Taris Akbar, sukses selalu dan kejarlah impianmu.

    MUSA

    • matahari Says:

      walaupun tidak kenal dengan pak harfan, mudah2 apa yang beliau tinggalkan bisa kita jadikan pelajaran ya mas..

      Salam kenal juga mas Musa, terimakasih sudah berkunjung…

  8. mima Says:

    salut buat hadyan.. ^^
    terus menulis, terus bermimpi, terus mengejar 🙂

  9. Heru Pojok Etnik Says:

    baru baca nih.
    luar biasa, mengingatkan kembali pada film the secret yang sempet booming beberapa tahun lalu. http://main.teknologiotak.com/?to=the_secret
    Walt Disney bilang ‘apapun yang dapat engkau imajinasikan, dapat terwujud’
    Sukses ya pak…

  10. itaita Says:

    Hei,, slm sblum’a. aq abis bc cerpen qm.
    Ups keren juga iaa… kata**nya aq suka…
    pantes qm menang lomba cerpen warta warga…
    hm… itu kisah nyata iaa??
    Jd pgn ktmu sm Pa Harfan.
    Ups… tp udh ga bs iaa…
    beruntung’a qm bs ktmu org ky Pa Harfan.
    By de wei, bus wei, udh jdn sm Ira?? Ehehe… 😛
    ‘Met iaa jd pemenang…
    Slm knl…
    Itaita
    Kampus J

    • matahari Says:

      Alhamdulillah… makasih ya…

      nggak ko, itu cuma fiktif belaka..
      ya kalo beneran,, sekarang aku udah di Amrik donk,, hehehehe…

      Ira? hahaha.. itu juga cuma tokoh fiktif,, 😀

      salam kenal kampus Kalimalan.. 😛

  11. itaita Says:

    owh… kirain beneran…
    abs”a wkt aq bc cerpen ky bnran… 😉
    suka ya bkin cerpen?
    hm… aq jg k bkin cerpen aplg baca cerpen,
    rasa’a ky jd pgn jd pemeran utama’a… ky terbang k dunia mimpi ehehehe… 😛
    prnh coba krim k majalah? lumayan loh dpt uang 🙂

    • matahari Says:

      hehehe..

      gak kok,, ni cerpen pertama aku,, lagi iseng2 aja kut lomba daripada gak da kerjaan,, 😛

      belum pernah,, masih ragu.. habis’a kan yang dikirim ke majalah tu yang keren,,

  12. diazzz Says:

    keren deh mau dijadiin film…
    sukses yan…

  13. ari Says:

    so sweet………..
    memang inspirasi bisa datang dari manapun dan dari siapapun.
    love n peace forever

  14. fia Says:

    ooh si Ira yaa.. pasti nama panjangnya irasshaimase deh 😛
    menginspirasi bgt novel diatas, tulisan fiktif tp sangat mendekati kenyataan 🙂
    we want more..we want moree.. hihihi


Leave a reply to matahari Cancel reply